Translate

arsitek indonesia

arsitek indonesia
ridwan kamil

arch

doraemon

doraemon

Jumat, 24 April 2015

menyontak subur kan budaya korupsi




Mahasiswa dan Budaya Menyontek



Mahasiswa sebagai wajah pemuda yang berkapasitas keilmuan tinggi memiliki peran yang strategis dalam menyelamatkan peran pemuda sebagai agent of change. Tingginya kapasitas keilmuan inilah yang membedakan antara pemuda jalanan dan pemuda agent of change. Pemuda jalanan dikualifikasikan sebagai mereka yang tidak berkapasitas keilmuan tinggi, yakni ditandai dengan tidak berkesempatannya mereka menikmati bangku perguruan tinggi. Oleh karena itu, dalam upaya membangun negeri mereka sering kali hanya berada pada barisan pemandu sorak yang mudah mengikuti apapun dan siapapun tanpa melalui proses seleksi. Sedangkan mahasiswa sebagai pemuda agent of change dalam upaya membangun negeri, maka mereka berada pada barisan terdepan sebagai kelompok pemikir atau konseptor. Oleh karena itu, dapat dikatakan secara turun menurun derajat seorang mahasiswa satu tingkat lebih terdepan dari pemuda jalanan.

Keagungan mahasiswa sebagai pemuda agent of change karena tingginya kapasitas keilmuan saat ini sedang terjadi ketimpangan dengan kenyataannya. Ketimpangan ini tidak lain disebabkan oleh melemahnya ciri pembeda yakni tingginya kapasitas keilmuan yang semakin meragukan. Kondisi ini dapat dilihat dari lesunya kompetisi-kompetisi keilmiahan, sepinya pergerakan mahasiswa dan tumpulnya kreativitas mahasiswa. Secara lebih jauh, melemahnya kapasitas keilmuan dapat terlihat dari suburnya fenomena budaya menyontek di kalangan mahasiswa. Memang hingga saat ini, belum ada penelitian secara resmi mengenai hal tersebut. Akan tetapi, secara subjektif, penulis telah mengamati secara cukup komprehensif mengenai hal tersebut. Pada lingkup Universitas Sebelas Maret, yakni khususnya pada Fakultas Hukum, fenomena budaya menyotek hampir menguasai 90% kegiatan akademis mahasiswa. Berdasarkan beberapa pertanyaan serupa yang dajukan oleh penulis kepada beberapa teman fakultas lain di universitas yang sama, maka diperoleh hasil yang tidak jauh berbeda. Yakni budaya menyontek telah menguasai hampir 75% kegiatan akademis mahasiswa. Kondisi ini sedikit demi sedikit melembaga menjadi pola perilaku yang kemudian bertransformasi menjadi suatu budaya yang mengerogoti kualitas kapasitas keilmuan seorang mahasiswa.

Budaya menyontek secara berkelanjutan dapat berpengaruh buruk terhadap kurang tajamnya mahasiswa berperan sebagai agent of change. Pada prespektif apapun, budaya menyontek tidak dapat dibenarkan sedikitpun. Pada kegiatan akademis, budaya menyontek dapat menimbulkan kesenjangan antara teori yang dipelajari dengan penerapan yang dilakukan. Hal ini karena adanya kegagalan pemahaman yang timbul akibat tidak tuntasnya kompetensi mahasiswa melalui kegiatan menyontek. Pada prespektif keilmiahan, sikap tidak plagiat atau tidak menyontek karya orang lain sebagai bentuk orisinalitas sangat dijunjung tinggi. Bahkan secara nyata akhir-akhir ini, terjadi beberapa guru besar suatu universitas yang dicopot gelarnya dikarenakan kegiatan plagiat ini. Sedangkan pada prespektif moral dan agama kegiatan menyontek menjadi bagian dari ketidakjujuran. Pada Al Qur’an Surat Ash Shaff ayat 3 dikatakan “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”. Prespektif-prespektif ini memperlihatkan betapa bahaya budaya menyontek yang kemudian akan mempengaruhi sikap-sikap hidup yang lain.

Korupsi dan Budaya Menyontek

Korupsi dalam sistem pemerintahan Indonesia dapat dikatakan sebagai penyakit utama yang mengakar pada segala bidang pemerintahan. Pada United Nations Convention Against Corruption tahun 2003, dikatakan bahwa “Concerned about the seriousness of problems and threats posed by corruption to the stability and security of societies, undermining the institutions and values of democracy, ethical values and justice and jeopardizing sustainable development and the rule of law”. Yakni berarti bahwa dunia internasional prihatin atas keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum. Bahaya korupsi ini mejadi sendi utama lemahnya kualitas pemerintahan.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk memberantas tindak pidana korupsi. Yakni melalui berbagai peraturan hukum yang dibuat, yakni Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Serta dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Upaya-upaya ini bersifat represif yakni sebagai upaya yang dilakukan saat setelah terjadi tindak pidana korupsi. Secara lebih jauh, upaya yang bersifat represif hanya akan berdampak pada pengurangan terhadap kejahatan yang telah dilakukan, namun tidak bersifat menumpas hingga akar permasalahan secara berkelanjutan. Padahal secara nyata ada ancaman yang lebih besar dan berkepanjangan terhadap upaya pemberantasan korupsi.

Ancaman yang lebih besar terletak pada disorientasi moral yang dapat menimbulkan kejahatan korupsi. Disorientasi moral yang utama yakni adanya budaya menyontek di kalangan mahasiswa. Menyontek sebagai bibit ketidakjujuran akan berkembang lebih jauh menjadi budaya pembohong saat seseorang bersangkutan terus melakukan secara berpola menyontek tersebut. Budaya pembohong ini jika terus menerus dipelihara hingga seseorang yang bersangkutan berada pada posisi birokrat maka akan sangat mungkin menimbulkan tindakan-tindakan tipu muslihat, termasuk korupsi. Bisa jadi kebiasaan menyontek akan menginternalisasi diri untuk tidak berbuat jujur sesuai dengan keuntungan yang diperoleh. Oleh karena itu, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa budaya menyontek merupakan bibit awal yang dapat menimbulkan kejahatan besar bernama korupsi.

Budaya menyontek di kalangan mahasiswa secara tidak langsung telah ikut membebani masyarakat kecil dalam menanggung akibat korupsi. Korupsi telah mengakibatkan terhambatnya pembangunan nasional yang berkelanjutan. Budaya menyontek yang menjadi bibit korupsi di masa datang berarti pula akan menghambat pembangunan negeri nantinya. Banyak dari mahasiswa tidak tahu dan tidak sadar mengenai akibat yang besar dari kebiasaan mereka menyontek. Darah muda yang dimiliki sering kali membuat mereka tidak berpikir untuk kedua kalinya mengenai apa yang telah dilakukan. Padahal jika mereka mau sedikit meluangkan waktu untuk memikirkannya, ini berarti telah ikut memikirkan nasib negeri di masa yang akan datang.

Transformasi Diri dari Budaya Menyontek Sebagai Langkah Besar Membangun Negeri Tanpa Korupsi

Mahasiswa sebagai pemuda agent of change yang berbeda dengan pemuda jalanan harusnya mampu menjadi pioner dalam pemberantasan korupsi. Akan tetapi, selama ini peran tersebut sedikit demi sedikit telah digerogoti oleh budaya menyontek yang menginternalisasi dalam dirinya. Budaya menyontek yang sering kali dianggap sebagai suatu yang remeh ternyata dapat menjadi bibit lahirnya kejahatan besar bernama korupsi. Dampak dari korupsi ini secara langsung dapat menyengsarakan rakyat dan menghambat laju pertumbuhan nasional. Bila tidak ingin penderitaan rakyat secara terus-menerus dirasakan, maka mahasiswa harus bertansformasi dari budaya menyontek.

Transformasi diri dari budaya menyontek dapat dilakukan dengan peningkatan kefanatikan mahasiswa terhadap bidang ilmu yang ditekuni. Kefanatikan ini akan dapat menimbulkan rasa cinta yang kemudian akan berpengaruh pada sikap belajar seseorang. Oleh karena pada hakikatnya menyontek timbul karena ketiadaan kesiapan mahasiswa dalam mengahadapi ujian. Ketidaksiapan ini timubul karena tidak maksimalnya proses belajar yang dilakukan oleh mahasiswa. Apabila mahasiswa telah mampu bangun dari budaya menyontek, maka tidak mustahil lagi untuk mampu mewujudkan Indonesia sebagai negeri tanpa korupsi. Melalui predikat negeri tanpa korupsi, maka Indonesia akan mampu mewujudkan kesejahteraan nasional yang berkeadilan. Mahasiswa harus mampu menjadi garda terdepan untuk mewujudkan cita-cita ini.

0 komentar :

Posting Komentar